Para penggiat lingkungan mengingatkan bahwa rencana ambisius Indonesia untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 terlalu bergantung pada biofuel, yang berpotensi memicu gelombang baru deforestasi di hutan hujan terbesar ketiga di dunia. Indonesia, yang sangat bergantung pada batu bara, perlu beralih dari bahan bakar fosil dan berupaya menghasilkan 75 gigawatt (GW) listrik dari sumber terbarukan dalam 15 tahun ke depan, dibandingkan dengan 13 gigawatt saat ini, kata utusan presiden Hashim Djojohadikusumo pada KTT PBB tentang perubahan iklim di Baku, Azerbaijan bulan lalu.
Salah satu pilar utama dari upaya ini adalah penggunaan biofuel yang lebih bersih, di mana bahan organik diubah menjadi bahan bakar cair. Biofuel akan membantu Indonesia mengurangi impor bahan bakar yang mahal, menurunkan emisi gas rumah kaca, dan meningkatkan produksi minyak sawit, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi, kata pemerintah. Meskipun sebagian besar ditujukan untuk sektor transportasi, biofuel juga digunakan di pembangkit listrik bertenaga diesel.
Namun, penanaman pohon kelapa sawit dan tebu yang diperlukan untuk menciptakan biomassa dalam skala besar untuk industri biofuel memerlukan transformasi lahan yang luas menjadi perkebunan, yang menempatkan hutan hujan tropis Indonesia dalam risiko. Forest Watch Indonesia memperkirakan bahwa deforestasi dapat mencapai 4,56 juta hektar di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan jika pemerintah secara agresif mewajibkan penggunaan biofuel di berbagai industri, termasuk di pembangkit listrik.
“Tanah baru diperlukan untuk mendirikan perkebunan energi guna memenuhi kebutuhan bioenergi,” kata Anggi Prayogo, peneliti Forest Watch Indonesia. Sebaliknya, “pemerintah seharusnya mendorong lebih banyak investasi ke energi terbarukan lainnya, seperti tenaga surya dan angin, untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.”
Hutan Indonesia sangat penting untuk memperlambat perubahan iklim. PBB memperkirakan pohon-pohon di Indonesia menyimpan hampir 300 miliar ton karbon. “Pemerintah harus memastikan bahwa penggunaan minyak sawit untuk biofuel tidak menyebabkan deforestasi dan kerusakan lingkungan,” kata Bhima Yudhistira, direktur eksekutif think tank Centre for Economic and Law Studies, mencatat bahwa peningkatan produksi dapat memerlukan konversi lebih banyak lahan.
Indonesia sudah menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia, minyak nabati serbaguna yang digunakan dalam makanan, kosmetik, dan bahan bakar. Tahun lalu, negara ini memproduksi 47 juta ton, dengan lebih dari 10 juta ton digunakan untuk biodiesel. Produksi minyak sawit telah lama dikaitkan dengan deforestasi di Indonesia, dengan 3,3 juta hektar dari 17 juta hektar perkebunan sawit negara ini ditemukan di hutan.
Pemerintah menerapkan moratorium perkebunan baru pada tahun 2011. Namun, sekitar 52.000 hektar hutan masih diubah menjadi perkebunan pada tahun 2022 dan 2023 saja, menurut Nusantara Atlas, sebuah kelompok yang melacak deforestasi di Indonesia. Dirancang sebagai pengganti bahan bakar fosil yang kotor, biofuel melepaskan lebih sedikit karbon langsung ke atmosfer. Namun, ketika emisi yang timbul dari perubahan penggunaan lahan juga diperhitungkan, sebagian besar biofuel sebenarnya mengeluarkan lebih banyak karbon dioksida daripada minyak bumi, menurut penelitian.
Meski demikian, Indonesia telah meningkatkan produksi biofuel selama dekade terakhir dan menargetkan peningkatan 32 persen menjadi 16 juta kiloliter (kL) tahun depan dari 2023. Pada tahun 2019, 660.000 kL biodiesel digunakan di pembangkit listrik diesel. Pemerintah akan mewajibkan produsen untuk membuat campuran biodiesel yang mengandung 40 persen minyak sawit dan 60 persen bahan bakar diesel pada tahun 2025, dari 35 persen minyak sawit saat ini. Ini akan memerlukan sekitar 18 juta kL minyak sawit mentah, peningkatan 50 persen dari 2023.
Negara ini juga ingin meningkatkan produksi bioetanol, yang berasal dari tebu, untuk dicampur dengan bensin. Pemerintah telah mengalokasikan sekitar 2 juta hektar lahan hutan di Papua Selatan untuk perkebunan tebu guna mengurangi impor gula. Laporan tahun 2021 oleh think tank yang berbasis di Jakarta, Institute for Essential Services and Reform (IESR), memproyeksikan permintaan potensial untuk biofuel di Indonesia dapat mencapai 190 juta ton setara minyak pada tahun 2050.
Lebih dari 45 persen emisi karbon Indonesia berasal dari produksi listrik pada tahun 2022, diikuti oleh industri dan transportasi, menurut Badan Energi Internasional. Batu bara adalah sumber bahan bakar utama untuk pembangkit listrik, menyumbang hampir 66 persen dari campuran pembangkit listrik, diikuti oleh gas alam dan hidro dengan masing-masing 13,6 persen dan 7,2 persen. Pemerintah menyalahkan kurangnya investasi swasta atas kegagalan memenuhi target energi terbarukan sejak setidaknya 2021.
Indonesia hanya memanfaatkan sebagian kecil dari potensi panas bumi, yang dianggap terbesar di dunia, dan tenaga surya, angin, serta air juga kurang dimanfaatkan, kata para analis. Misalnya, negara ini hanya memproduksi 0,017 persen dari potensi tenaga surya sekitar 3 gigawatt tahun lalu, menurut think tank Amerika Serikat, Institute for Energy Economics and Financial Analysis.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tidak segera menanggapi permintaan komentar. Biofuel masih akan memainkan peran dalam campuran energi negara, tetapi para peneliti berpendapat bahwa pemerintah harus mendorong lebih banyak penanaman kembali perkebunan yang tidak produktif atau mengurangi ekspor untuk memenuhi permintaan domestik terlebih dahulu. “Indonesia mengekspor lebih dari setengah produksi minyak sawit,” kata Fabby Tumiwa, direktur eksekutif IESR. Jika kehilangan hutan hujan ingin diperlambat, “maka pemerintah harus mengurangi ekspornya,” katanya.