Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa penggunaan energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional saat ini hanya mencapai 13,9%. Angka ini diperkirakan hanya akan sedikit meningkat menjadi 14,1% pada akhir 2024, jauh dari target 23% yang ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional untuk tahun 2025.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengidentifikasi tiga masalah utama yang menghambat pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Pertama, daya tarik investasi EBT di Indonesia rendah akibat inkonsistensi kebijakan dan hambatan regulasi. Subsidi energi fosil, seperti domestic market obligation (DMO) untuk batu bara dan gas, membuat harga EBT sulit bersaing.
Kedua, pengembangan energi terbarukan terlalu bergantung pada PLN, yang menyebabkan transisi energi menjadi PLN-sentris. Hal ini mengakibatkan daya tarik investasi proyek EBT PLN rendah dan kurang diminati investor.
Ketiga, kendala dalam pengadaan pembangkit EBT oleh PT PLN (Persero) juga menjadi penghambat. Proses pengadaan yang tidak teratur dan panjangnya perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBL) atau power purchase agreement (PPA) menambah kompleksitas.
Fabby menekankan pentingnya evaluasi hambatan pengembangan EBT oleh pemerintah, dengan Presiden Prabowo Subianto diharapkan memimpin upaya ini. Defisit dalam pencapaian target EBT dapat berdampak pada keamanan pasokan listrik dalam 2-3 tahun mendatang.
Selain itu, reformasi pengelolaan PLN dan perbaikan dalam pengadaan pembangkit EBT di perusahaan pelat merah tersebut juga diperlukan. Pemerintah diharapkan dapat mempercepat pengembangan EBT dalam dua tahun ke depan, terutama dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan percepatan PPA proyek panas bumi, hidro, dan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) yang terhenti.
Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Eniya Listiyani, menyatakan bahwa proporsi EBT dalam bauran energi nasional saat ini baru mencapai 13,93%, dengan target 14,1% pada akhir 2024. Realisasi investasi di sub sektor EBTKE mencapai US$1,49 miliar atau sekitar Rp24 triliun, namun masih di bawah target US$2,6 miliar.
Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari energi panas bumi mencapai Rp2,08 triliun, sementara dari Balai Besar Survei dan Pengujian (BBSP) KEBTKE mencapai Rp29 miliar. Tambahan kapasitas pembangkit listrik berbasis EBT mencapai 547,41 megawatt (MW) per Desember 2024, sehingga total kapasitas pembangkit EBT saat ini mencapai 14.110 MW.
Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk meningkatkan proporsi EBT dalam bauran energi nasional. Evaluasi kebijakan, reformasi pengelolaan, dan percepatan pengembangan proyek EBT menjadi kunci untuk mencapai target yang telah ditetapkan.