Permintaan terhadap mineral kritis diprediksi akan melonjak tajam, dari 7,1 juta ton pada tahun 2020 menjadi 42,3 juta ton pada tahun 2050. Peningkatan ini didorong oleh komitmen global untuk mengurangi emisi karbon sebagai respons terhadap peringatan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim mengenai dampak serius dari perubahan iklim.
Mencapai tujuan iklim yang diuraikan dalam Kesepakatan Paris, sebuah perjanjian internasional dengan komitmen hukum untuk menjaga kenaikan suhu global jauh di bawah 2 derajat Celsius dan berupaya untuk kurang dari 1,5 derajat di atas tingkat pra-industri, sangat bergantung pada seberapa efektif negara-negara mengelola transisi energi. Transisi ini memerlukan komitmen politik untuk menerapkan kebijakan yang mengubah infrastruktur energi dari yang biasa menjadi sistem yang bersih dan berkelanjutan, di mana bahan bakar bersih dan energi terbarukan memainkan peran kunci.
Namun, meningkatkan teknologi bersih dan terbarukan memerlukan jumlah besar mineral kritis, yang juga dikenal sebagai elemen tanah jarang (REE), yang penting untuk memproduksi teknologi seperti turbin angin, penyimpanan baterai, kendaraan listrik, elektroliser, jaringan pintar, infrastruktur telekomunikasi, dan semikonduktor. Teknologi-teknologi ini menjadi pusat transisi global menuju energi bersih, mendorong negara-negara Asia Tenggara untuk mengamankan rantai pasokan jangka panjang dan stabil dari mineral kritis.
Namun, memastikan rantai pasokan yang stabil dan berkelanjutan menghadapi berbagai tantangan, termasuk risiko geopolitik, kekhawatiran lingkungan, dan keterbatasan infrastruktur. Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Malaysia, sangat penting bagi pasokan global mineral kritis. Negara-negara ini memiliki cadangan yang signifikan, kapasitas produksi, dan fasilitas pengolahan yang mendukung ekonomi global.
Indonesia, sebagai produsen nikel utama, memiliki sekitar 25 persen cadangan nikel dunia. Pada tahun 2020, negara ini memproduksi 760.000 ton nikel dan berfokus pada pengembangan industri hilir seperti pemurnian dan produksi baterai kendaraan listrik (EV). Filipina, produsen nikel terbesar kedua di dunia, menyumbang sekitar 280.000 ton nikel pada tahun 2021, bersama dengan jumlah signifikan tembaga, emas, dan logam kritis lainnya untuk teknologi elektronik dan energi terbarukan.
Vietnam memiliki cadangan tungsten dan elemen tanah jarang yang substansial, meskipun produksi dan pemurniannya masih dalam tahap awal. Malaysia memainkan peran kunci dalam pengolahan tanah jarang, sementara Thailand, meskipun lebih kecil dalam sektor mineral kritis, memiliki cadangan timah yang signifikan dan basis manufaktur elektronik yang berkembang.
Meskipun melimpahnya mineral di ASEAN, pasar mineral kritis global sangat dipengaruhi oleh faktor geopolitik, terutama ketegangan antara China dan Amerika Serikat. China mengendalikan sekitar 80 persen pasar pemurnian tanah jarang global, membuat negara-negara ASEAN sangat bergantung pada China untuk pasokan REE. Kekhawatiran lingkungan juga menghadirkan tantangan signifikan bagi negara-negara Asia Tenggara, mengingat dampak penambangan dan pengolahan mineral kritis.
Dengan meningkatnya permintaan dan tantangan yang ada, negara-negara ASEAN perlu mengembangkan strategi yang efektif untuk mengelola sumber daya mineral kritis mereka. Ini termasuk memperkuat kerjasama regional, meningkatkan teknologi pengolahan, dan memastikan praktik penambangan yang berkelanjutan untuk mendukung transisi energi global yang bersih dan berkelanjutan.