Pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah meluncurkan paket sanksi paling masif yang pernah diterapkan, menargetkan pendapatan dari sektor minyak dan gas Rusia. Langkah ini merupakan bagian dari upaya AS untuk menekan Rusia dalam konteks konflik yang berlangsung di Ukraina, serta untuk mempengaruhi negosiasi perdamaian yang melibatkan Kyiv dan tim baru Donald Trump.
Sanksi ini bertujuan untuk memangkas pendapatan Rusia yang digunakan untuk melanjutkan perang di Ukraina, yang telah mengakibatkan lebih dari 12.300 korban jiwa di kalangan sipil dan menghancurkan banyak kota sejak invasi Moskow pada Februari 2022. Mengutip Reuters pada Minggu (12/1/2025), Kementerian Keuangan AS menjatuhkan sanksi kepada perusahaan energi besar Rusia seperti Gazprom Neft dan Surgutneftegas, serta 183 kapal yang terlibat dalam pengiriman minyak Rusia. Jaringan perdagangan minyak bumi juga tidak luput dari sanksi ini.
Banyak kapal tanker yang terkena sanksi ini sebelumnya digunakan untuk mengirimkan minyak ke India dan China. Hal ini terjadi setelah pembatasan harga yang diberlakukan oleh negara-negara G7 pada 2022, yang mengalihkan perdagangan minyak Rusia dari Eropa ke Asia. Beberapa kapal tanker juga diketahui mengangkut minyak dari Rusia dan Iran.
Kementerian Keuangan AS juga membatalkan ketentuan yang sebelumnya membebaskan perantara pembayaran energi dari sanksi terhadap bank-bank Rusia. Jika ditegakkan dengan ketat, sanksi ini diperkirakan akan merugikan Rusia miliaran dolar setiap bulan, menurut pejabat AS.
Gazprom Neft menyatakan bahwa sanksi tersebut tidak dapat dibenarkan dan tidak sah, namun perusahaan berkomitmen untuk terus beroperasi. Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy menyambut baik langkah ini, menyatakan bahwa semakin sedikit pendapatan yang diperoleh Rusia dari minyak, semakin cepat perdamaian dapat dipulihkan.
Daleep Singh, penasihat ekonomi dan keamanan nasional Gedung Putih, menyebutkan bahwa sanksi ini adalah yang paling signifikan terhadap sektor energi Rusia, yang merupakan sumber pendapatan terbesar bagi Presiden Vladimir Putin. Sanksi ini memberikan periode penghentian hingga 12 Maret bagi entitas yang terkena untuk menyelesaikan transaksi energi.
Sumber-sumber dalam perdagangan minyak Rusia dan penyulingan minyak India memperkirakan bahwa sanksi ini akan menyebabkan gangguan signifikan pada ekspor minyak Rusia ke pembeli utama seperti India dan China. Geoffrey Pyatt, asisten sekretaris AS untuk sumber daya energi, menyatakan bahwa volume minyak baru dari AS, Guyana, Kanada, Brasil, dan mungkin Timur Tengah diharapkan dapat menggantikan pasokan Rusia yang hilang.
Sanksi ini merupakan bagian dari upaya yang lebih luas, di mana pemerintahan Biden telah memberikan bantuan militer senilai US$64 miliar kepada Ukraina sejak invasi, termasuk US$500 juta untuk rudal pertahanan udara dan peralatan pendukung untuk jet tempur.
Langkah terbaru ini mengikuti sanksi AS pada November 2024 terhadap sejumlah bank, termasuk Gazprombank, dan puluhan kapal tanker yang membawa minyak Rusia. Pemerintahan Biden percaya bahwa sanksi ini akan memperburuk tekanan ekonomi Rusia, yang telah mendorong inflasi hingga hampir 10% dan memperkuat prospek ekonomi yang suram untuk tahun 2025 dan seterusnya.