Indonesia kini berada di titik krusial sejarah. Selama puluhan tahun, mesin ekonomi negeri ini ditopang oleh energi fosil—batubara, minyak, dan gas. Dari sektor inilah negara meraup devisa, industri bergerak, dan listrik menerangi jutaan rumah tangga. Realitas ini menunjukkan bahwa tata kelola energi lama telah membentuk struktur yang timpang dan tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat.
Langkah menuju energi bersih bukan tanpa hambatan. Keterbatasan infrastruktur, biaya investasi awal yang tinggi, serta luasnya wilayah Indonesia membuat pemerataan energi terbarukan sulit terwujud. Banyak masyarakat di daerah terpencil yang belum merasakan manfaat langsung dari program energi hijau. Selain itu, dominasi kepentingan ekonomi jangka pendek kerap menghambat adopsi kebijakan transisi energi yang berorientasi jangka panjang.
Salah satu tujuan utama transisi energi adalah membangun kedaulatan ekonomi rakyat dengan memberdayakan sumber daya lokal. Energi surya, angin, maupun biomassa seharusnya bisa menjadi sumber penghidupan baru, menciptakan lapangan kerja, serta membuka akses energi yang lebih adil. Namun, tanpa kebijakan yang berpihak, janji ini berisiko hanya menjadi slogan. Rakyat di akar rumput butuh kepastian: bahwa transisi energi bukan sekadar agenda global, tetapi jalan nyata untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Di balik tantangan, energi terbarukan menyimpan potensi besar. Pemanfaatan tenaga surya, angin, panas bumi, dan biomassa dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang kian menipis. Selain ramah lingkungan, pengembangan sektor ini bisa menjadi motor penciptaan lapangan kerja hijau, mendorong inovasi teknologi, sekaligus memperluas basis ekonomi lokal. Jika dikelola dengan baik, transisi energi dapat mengoreksi ketimpangan lama dan membawa kedaulatan ekonomi yang lebih merata.
Kunci sukses transisi energi terletak pada kolaborasi. Pemerintah perlu menyiapkan regulasi yang adil, transparan, dan memberikan insentif bagi investasi di energi terbarukan. Sektor swasta dituntut untuk menghadirkan inovasi teknologi yang inklusif, bukan hanya menguntungkan kelompok tertentu. Sementara itu, partisipasi masyarakat sangat penting, baik dalam bentuk perubahan gaya hidup menuju ramah lingkungan maupun keterlibatan dalam pengelolaan energi berbasis komunitas.
Transisi energi bagi Indonesia bukan sekadar peralihan dari fosil ke terbarukan, melainkan koreksi terhadap tata kelola lama yang timpang. Jika dilakukan dengan komitmen dan keberpihakan pada rakyat, transisi ini berpotensi memperbaiki ketidakadilan struktural, mengurangi ketergantungan pada subsidi, serta menghadirkan kedaulatan energi yang lebih adil dan berkelanjutan. Indonesia kini memiliki kesempatan untuk menulis babak baru: energi bersih yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga berpihak pada kesejahteraan rakyat.