JAKARTA – Dalam pusaran diskusi publik, amnesti pajak kembali menjadi sorotan. Menariknya, wacana ini beriringan dengan rencana peningkatan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025. Kombinasi kebijakan ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah kebijakan fiskal di bawah pemerintahan baru lebih menguntungkan kaum elite dan mengorbankan masyarakat kelas menengah ke bawah?
Wacana amnesti pajak jilid 3 semakin menguat setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Pada amnesti pajak jilid 1 (2016-2017), pemerintah berhasil mengumpulkan dana tebusan sebesar Rp 114,02 triliun, atau 69 persen dari target yang ditetapkan. Namun, angka ini masih jauh dari target yang diharapkan.
Amnesti pajak pertama juga menunjukkan hasil yang kurang memuaskan dalam hal repatriasi pajak, dengan realisasi hanya Rp 147 triliun dari target Rp 1.000 triliun. Kegagalan ini menimbulkan pertanyaan apakah penyelenggaraan amnesti pajak untuk ketiga kalinya adalah langkah yang tepat. Masyarakat melihat amnesti pajak sebagai cara instan untuk meningkatkan penerimaan pajak, tetapi pertanyaannya adalah siapa yang benar-benar diuntungkan?
Amnesti pajak sering kali dianggap sebagai karpet merah bagi para pengemplang pajak, yang mendapatkan pengampunan dengan tarif khusus lebih rendah dari tarif normal. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan wajib pajak yang patuh, yang merasa dirugikan oleh kebijakan yang seolah-olah memaafkan pelanggaran pajak. Persepsi ini dapat mengubah pandangan masyarakat tentang kepatuhan pajak dan menurunkan kepercayaan terhadap sistem perpajakan.
Amnesti pajak yang berulang kali dilakukan dapat mencoreng reputasi fiskal Indonesia. Kebijakan ini menunjukkan kelemahan dalam sistem perpajakan dan penegakan hukum terhadap penghindaran pajak. Reputasi fiskal yang buruk dapat mempengaruhi keputusan investasi, karena investor cenderung menghindari negara dengan kebijakan fiskal yang tidak stabil.
Kenaikan PPN yang dilakukan bersamaan dengan amnesti pajak jilid 3 menimbulkan persepsi bahwa beban fiskal dialihkan ke masyarakat menengah-bawah. Kenaikan PPN akan langsung mempengaruhi harga barang dan jasa, memberatkan kelompok menengah-bawah yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi. Sementara itu, kelompok elite justru mendapatkan “pengampunan” atas kewajiban pajak yang mereka abaikan.
Untuk mengatasi ketimpangan ini, pemerintah perlu mengupayakan diversifikasi basis perpajakan dengan mengidentifikasi sumber-sumber pajak baru, seperti pajak kekayaan dan pajak karbon. Selain itu, alokasi penerimaan pajak harus dilakukan secara adil untuk memastikan anggaran digunakan untuk program yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat menengah-bawah.
Kebijakan perpajakan yang adil harus berpihak kepada kepentingan masyarakat luas, bukan hanya mengakomodasi segelintir elite. Pemerintah perlu menciptakan kebijakan perpajakan yang tidak hanya berorientasi pada penerimaan negara, tetapi juga pada keadilan sosial dan kesejahteraan semua kelompok. Dengan demikian, kebijakan fiskal dapat menjadi instrumen yang efektif dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.