Pada tahun 2024, perusahaan-perusahaan energi di Benua Biru memutuskan untuk menggandakan produksi minyak dan gas, mengalihkan fokus mereka ke keuntungan jangka pendek. Langkah ini diambil di tengah perlambatan dan kemungkinan perubahan arah komitmen iklim yang diperkirakan akan berlanjut hingga 2025. Keputusan ini muncul setelah pemerintah di seluruh dunia menahan kebijakan energi bersih dan menunda target iklim akibat kenaikan harga energi yang dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina.
Perusahaan energi Eropa yang telah banyak berinvestasi dalam transisi energi bersih kini menghadapi persaingan ketat dari perusahaan energi Amerika Serikat seperti Exxon dan Chevron, yang tetap fokus pada minyak dan gas. Hal ini mendorong perusahaan seperti BP dan Shell untuk menahan rencana investasi besar-besaran dalam proyek energi surya dan angin, dan sebaliknya melanjutkan proyek minyak dan gas.
Pada bulan Desember, BP mengumumkan akan mengalihkan hampir semua proyek pembangkit listrik tenaga anginnya ke proyek patungan dengan perusahaan Jepang, JERA. BP menargetkan peningkatan energi terbarukan hingga 20 kali lipat menjadi 50 gigawatt dalam dekade ini. Sementara itu, Shell yang pernah berjanji menjadi perusahaan listrik terbesar di dunia, menarik investasinya dari proyek pembangkit listrik tenaga angin dan mengurangi target pemangkasan karbonnya.
Pengamat dari Accela Research, Rohan Bowater, menyatakan bahwa gangguan geopolitik seperti invasi Ukraina telah melemahkan insentif bagi CEO untuk memprioritaskan transisi energi rendah karbon. Pada tahun 2024, BP, Shell, dan Equinor mengurangi pengeluaran untuk energi rendah karbon sebesar 8 persen. Meskipun demikian, Shell menegaskan komitmennya untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050 dan terus berinvestasi dalam transisi energi.
Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih, yang skeptis terhadap perubahan iklim, diperkirakan akan menambah gejolak transisi energi pada tahun 2025. Sementara itu, Cina, sebagai importir minyak mentah terbesar di dunia, berusaha membangkitkan kembali perekonomiannya yang goyah, yang diperkirakan akan meningkatkan permintaan minyak. Di sisi lain, Eropa masih menghadapi ketidakpastian akibat perang Ukraina dan gejolak politik di Jerman dan Prancis.
Pada Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP29) di Baku, Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev menyebut minyak dan gas sebagai “karunia dari Tuhan.” Namun, negara-negara berkembang dan aktivis lingkungan kecewa dengan hasil COP29, karena gagal mengamankan pendanaan 1,3 triliun dolar AS per tahun dari negara-negara kaya untuk membantu negara berkembang menghadapi perubahan iklim.
Perusahaan energi akan memantau langkah Trump yang berjanji mencabut kebijakan iklim Presiden Joe Biden dan menunjuk Chris Wright, mantan petinggi perusahaan minyak yang skeptis terhadap perubahan iklim, sebagai menteri energi. Ada potensi jebakan dari kembalinya fokus perusahaan energi pada minyak dan gas, terutama dengan melambatnya pertumbuhan permintaan di Cina.
Para analis memperkirakan perusahaan minyak akan menghadapi kendala keuangan yang lebih ketat tahun depan. Berdasarkan estimasi LSEG, utang bersih lima raksasa minyak dunia diperkirakan meningkat dari 92 miliar dolar AS pada tahun 2022 menjadi 148 miliar dolar AS. Langkah perusahaan energi Eropa untuk menahan komitmen mereka terhadap energi bersih menjadi tantangan besar bagi upaya mitigasi perubahan iklim global.