Langkah Badan Legislatif (Baleg) DPR RI yang tiba-tiba menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) pada Senin (20/1/2025) mengejutkan banyak pihak. Proses yang terkesan mendadak ini menimbulkan berbagai reaksi, terutama dari koalisi masyarakat sipil yang menyoroti kurangnya transparansi dalam penyusunan RUU tersebut.
Koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas tata kelola energi dan Sumber Daya Alam (SDA), yang terdiri dari 31 organisasi masyarakat sipil di tingkat nasional dan daerah, menyatakan bahwa proses penyusunan RUU ini sangat cepat dan tidak transparan. Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa jika proses ini dilanjutkan, maka akan lebih ugal-ugalan dibandingkan dengan DPR periode sebelumnya.
Agenda yang muncul di publik menunjukkan bahwa Rapat Penyusunan, Rapat Panitia Kerja (Panja), dan Pengambilan Keputusan Penyusunan RUU Minerba ditargetkan selesai dalam satu hari saja. “Jika kita memperhatikan jalannya Rapat Baleg pagi ini, sejumlah anggota Baleg bahkan mengakui baru mendapatkan Naskah Akademis (NA) 30 menit sebelum rapat. Seolah-olah ada upaya memaksakan agar segera dilakukan Revisi UU Minerba. Pertanyaannya, Revisi UU Minerba yang kilat ini untuk siapa?” ujar Aryanto dalam keterangan tertulisnya.
Aryanto kemudian merinci sejumlah pasal yang diusulkan dalam penyusunan RUU ini yang dianggap bermasalah, antara lain:
- Pasal 51 ayat (1) yang menyatakan bahwa Wilayah Usaha Pertambangan (WIUP) Mineral logam dapat diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, atau Perusahaan perseorangan melalui lelang atau pemberian prioritas.
- Pasal 51A ayat (1) yang memungkinkan WIUP Mineral logam diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas.
- Pasal 51B ayat (1) yang mengatur bahwa WIUP Mineral logam dalam rangka hilirisasi dapat diberikan kepada badan usaha swasta dengan cara prioritas.
- Pasal 75 ayat (2) yang menyebutkan bahwa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dapat diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah, badan usaha swasta, atau badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.
“Kami menduga, Penyusunan Rancangan UU Minerba ini bertujuan untuk memuluskan mekanisme pemberian izin kepada badan usaha milik Ormas, serta Badan Usaha milik Perguruan Tinggi (PT) dan UMKM, yang diberikan secara prioritas,” ujar Aryanto. Ia menilai bahwa hal ini merupakan bentuk lain dari “jor-joran” izin tambang yang membahayakan keberlanjutan, baik di sektor batu bara maupun mineral.
Peneliti Indonesia Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, menilai bahwa secara formil, dalam pembentukan Undang-Undang (UU) berdasarkan Pasal 23 UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP), dijelaskan bahwa UU yang masuk kumulatif terbuka seharusnya mengakomodir putusan MK. Di luar putusan MK, tidak bisa dibahas, kecuali ditetapkan dalam Prolegnas prioritas tahunan. “Dalam hal ini, DPR gagal memahami proses pembentukan UU dan melanggar konstitusi. Selain itu, dengan disahkannya UU Minerba dalam waktu singkat tanpa mempertimbangkan masukan masyarakat, DPR dinilai tidak belajar dari masalah sebelumnya mengenai partisipasi bermakna,” ujarnya.
Menurut Arif, konsekuensi dari pengesahan UU Minerba yang terburu-buru akan mengakibatkan kurangnya legitimasi dari masyarakat dan menimbulkan konflik di kemudian hari. Implementasi dari undang-undang tersebut juga tidak akan berjalan optimal. Padahal, UU PPP menjelaskan bahwa UU yang masuk kumulatif terbuka maupun yang masuk Prolegnas harus melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyusunannya.
Penyusunan kilat RUU Minerba oleh Baleg DPR RI menimbulkan kontroversi dan kritik dari berbagai pihak, terutama terkait kurangnya transparansi dan partisipasi masyarakat. Dengan berbagai pasal yang dianggap bermasalah, serta dugaan motif di balik penyusunan RUU ini, diharapkan DPR dapat lebih bijak dalam proses legislasi agar tidak menimbulkan konflik dan masalah di masa depan. Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna dan transparansi dalam proses penyusunan undang-undang menjadi kunci untuk mencapai hasil yang lebih baik dan berkelanjutan.