Krisis iklim yang semakin nyata menuntut solusi konkret untuk menekan emisi gas rumah kaca (GRK). Salah satu opsi yang dinilai efektif adalah pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Di Indonesia, teknologi ini dipandang mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap penurunan emisi sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.
Berdasarkan perkiraan kasar, PLTS dengan kapasitas sekitar 900 Megawatt (MW) bisa menurunkan emisi karbon hingga 6 juta ton CO2 setiap tahunnya. Meski begitu, Institute for Essential Services Reform (IESR) menegaskan bahwa sejauh ini belum ada data resmi yang secara rinci menghitung potensi pengurangan emisi dari instalasi PLTS di Indonesia.
IESR juga menyebutkan bahwa angka tersebut tidak tercantum dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Selain itu, acuan lain seperti Grid Emission Factor (GEF) terakhir kali diperbarui pada 2021, sehingga belum tersedia data terbaru yang bisa menjadi rujukan valid.
Walaupun masih terdapat kekosongan data resmi, prospek PLTS di Indonesia tetap besar. Lokasi geografis yang berada di garis khatulistiwa memberi keunggulan tersendiri dalam pemanfaatan energi surya. Namun, tantangan seperti biaya investasi awal yang tinggi serta kebutuhan dukungan kebijakan pemerintah masih menjadi pekerjaan rumah utama.
Dengan pemetaan data yang lebih akurat, pengembangan PLTS berpotensi tidak hanya menurunkan emisi GRK, tetapi juga membuka peluang lapangan kerja hijau dan mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat menjadi kunci untuk mewujudkan peralihan energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan.