Ekonom energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menyatakan bahwa PT Pertamina akan kesulitan jika harus menjual bahan bakar minyak (BBM) ke operator SPBU swasta tanpa mengambil keuntungan. Menurutnya, sebagai entitas bisnis, wajar jika Pertamina mengambil margin dari penjualan tersebut, terutama mengingat biaya tambahan yang akan timbul dari impor mendadak untuk memenuhi permintaan tersebut. Fahmy menegaskan bahwa Pertamina bukanlah lembaga sosial yang bisa menjalankan operasi tanpa menghasilkan profit.
Lebih jauh, Fahmy menduga bahwa kebijakan yang didorong oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, ini memiliki tujuan politik tersembunyi. Ia mengaitkannya dengan kesepakatan negosiasi tarif resiprokal antara Indonesia dan Amerika Serikat. Menurutnya, kesepakatan ini memungkinkan Indonesia mendapatkan tarif impor lebih rendah, dengan imbalan membeli komoditas migas senilai US$15 miliar dari AS. Dengan memaksa SPBU swasta membeli BBM dari Pertamina, pemerintah dapat memastikan target impor dari AS tercapai. Dugaan ini juga mengindikasikan bahwa biaya logistik untuk Pertamina akan membengkak, yang pada akhirnya akan dibebankan ke harga BBM.
Di sisi lain, Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, membantah keras bahwa perusahaan mencari keuntungan dari situasi ini. Ia menekankan bahwa pasokan BBM ke SPBU swasta adalah bagian dari tugas Pertamina untuk menjaga ketahanan energi nasional. Simon juga menyatakan bahwa Pertamina akan menggunakan mekanisme open book agar seluruh biaya dan keuntungan terlihat transparan bagi semua pihak, dan berharap harga jual ke konsumen akhir tidak akan naik.