Didik Sasono Setyadi, seorang tokoh terkemuka yang memimpin Asosiasi Praktisi Hukum Migas dan Energi Terbarukan (APHMET), juga dikenal sebagai dosen tetap di Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta dan dosen tamu di berbagai universitas internasional seperti Universite Le Havre, Prancis. Dalam perannya, Didik kerap terlibat dalam diskusi dan seminar yang membahas isu-isu hukum dan regulasi di sektor migas dan energi terbarukan.
Pada 4 Desember 2024, Didik diundang oleh SKK Migas sebagai narasumber dalam Rapat Kerja Pertanahan dan Perizinan di Bandung, Jawa Barat. Acara ini dihadiri oleh sekitar 250 peserta, termasuk pejabat eselon I dari berbagai kementerian seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Meskipun Kementerian Kehutanan hadir, mereka tidak menjadi pembicara pada sesi pertama.
Diskusi mengenai perizinan dan pertanahan dalam industri migas bukanlah hal baru. Sejak era reformasi, isu ini terus menjadi topik yang dibahas setiap tahun. Sayangnya, solusi yang diambil pemerintah sering kali tidak efektif, karena tidak adanya sistem terintegrasi yang dapat menyelesaikan permasalahan lintas kewenangan birokrasi.
Salah satu fakta yang perlu diperhatikan adalah penurunan produksi minyak dan gas bumi Indonesia sejak 1997. Meskipun ada peningkatan sementara saat Blok Cepu di Bojonegoro mulai berproduksi, tren penurunan tetap berlanjut. Menurut kajian Mackenzie, hingga 2050, Indonesia masih akan sangat bergantung pada energi fosil, dengan rata-rata 70% dari total kebutuhan energi.
Indonesia memiliki 128 cekungan migas, namun baru separuhnya yang dieksplorasi. Potensi ini menunggu minat dari investor yang berani mengambil risiko di sektor hulu migas. Sayangnya, daya tarik investasi terhambat oleh birokrasi yang rumit dan ketidakpastian hukum.
Laporan IHS Markit (S&P) Desember 2023 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan sistem kepastian hukum dan kontraktual terendah kedua dari 14 negara yang disurvei. Ketidakpastian ini sering kali muncul dalam bentuk tumpang tindih wilayah kerja migas dengan HGU perkebunan, kawasan hutan, dan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2012 oleh Presiden SBY dan Undang-undang Cipta Kerja di era Presiden Jokowi adalah beberapa upaya untuk mengatasi masalah ini. Namun, target produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari pada 2030 tampaknya sulit tercapai, mengingat produksi saat ini hanya sekitar 600 ribu barel per hari.
Didik menekankan perlunya perubahan fundamental dalam manajemen perizinan di Indonesia. Pemerintah perlu menegaskan bahwa kegiatan usaha hulu migas adalah “Vital Strategis Pemerintah” yang memerlukan perizinan dan pengadaan lahan yang diatur secara khusus. Hal ini penting untuk mencapai swasembada energi dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Didik mengusulkan agar Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden untuk menyatukan proses perizinan dan pengadaan lahan di bawah satu lembaga khusus. Ini akan mengurangi ketidakpastian dan hambatan birokrasi, sehingga investor dapat lebih fokus pada penyediaan dana, teknologi, dan manajemen.
Tantangan perizinan dan pertanahan dalam industri hulu migas Indonesia memerlukan perhatian serius dari pemerintah. Dengan langkah-langkah yang tepat, seperti penerbitan Peraturan Presiden dan revisi Undang-undang Migas, diharapkan dapat tercipta iklim investasi yang lebih kondusif dan mendukung kemandirian energi nasional.