Di tengah ancaman perubahan iklim yang semakin nyata, Jepang bertekad untuk mengurangi jejak karbonnya dengan meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Pemerintah Jepang menargetkan agar 50% dari total pembangkit listrik berasal dari sumber energi terbarukan pada tahun 2040. Meski beberapa kritikus menilai target ini masih kurang ambisius, terutama mengingat posisi Jepang sebagai penghasil emisi karbon dioksida terbesar kelima di dunia, investasi besar dalam energi terbarukan tetap menjadi keharusan.
Rencana ambisius Jepang mencakup peningkatan penggunaan tenaga surya (22-29% dari total pasokan listrik), tenaga air (8-10%), dan angin baik di darat maupun lepas pantai (4-8%). Selain itu, ada dorongan untuk meningkatkan penggunaan energi geothermal hingga 1%-2% dari total pembangkit listrik, sejalan dengan visi Perdana Menteri Shigeru Ishiba untuk memanfaatkan potensi energi terbarukan yang melimpah di Jepang.
Pengembangan energi geothermal di Jepang tidak lepas dari berbagai hambatan hukum dan administratif, terutama terkait pengeboran di taman nasional yang menjadi lokasi utama sumber daya ini. Meskipun ada perubahan peraturan yang membuka peluang pengembangan lebih lanjut, tantangan politik dan kekhawatiran dari pemilik resor pemandian air panas tetap menjadi kendala.
Sebelumnya, debat politik lebih banyak berfokus pada peningkatan tenaga surya dan angin. Namun, minat Ishiba terhadap energi geothermal didasarkan pada potensi besar yang dimiliki Jepang. Menurut Japan Organization for Metals and Energy Security (JOGMEC), Jepang memiliki cadangan geothermal terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan Indonesia, setara dengan sekitar 23 reaktor nuklir.
Ishiba mendapatkan dukungan politik yang kuat untuk upayanya mengembangkan energi geothermal. Sebelum pemilihan pada 27 Oktober, hampir 100 anggota parlemen mendukung penggunaan energi geothermal, dengan lebih dari setengahnya berasal dari Partai Demokrat Liberal dan Komeito. Dukungan ini mencerminkan potensi besar energi geothermal dalam revitalisasi daerah pedesaan dan mencapai target netralitas karbon pada 2050.
Meskipun potensi pengembangan energi geothermal di Jepang diakui secara luas, terdapat beberapa hambatan yang menghalangi pemanfaatan sumber energi bersih ini. Banyak lokasi ideal untuk pembangkit geothermal berada di taman nasional, yang selama ini diatur dengan ketat. Namun, setelah bencana nuklir Fukushima pada 2011, ada dorongan untuk memanfaatkan energi terbarukan, termasuk geothermal.
Kekhawatiran utama datang dari pemilik onsen (pemandian air panas) yang khawatir bahwa pengeboran geothermal dapat merusak kualitas air dan mengurangi daya tarik wisata. Asosiasi Onsen Jepang, yang memiliki sekitar 1.300 anggota, menentang pengembangan geothermal skala besar, meskipun mendukung pembangkit skala kecil yang dapat menghidupkan kembali komunitas lokal.
Pemerintah Jepang mendukung rencana JOGMEC untuk melakukan survei lokasi potensial untuk pengeboran geothermal. Teknologi eksplorasi geothermal yang lebih akurat dan hemat biaya sedang dikembangkan untuk meningkatkan identifikasi sumber geothermal. Selain itu, teknologi pengeboran “thermal-shock” sedang diteliti untuk mempermudah dan meningkatkan efisiensi pengeboran.
Jepang memiliki potensi besar untuk menjadi superpower dalam energi geothermal. Namun, meyakinkan komunitas lokal bahwa pengembangan geothermal tidak akan merusak lingkungan atau bisnis di sekitar lokasi pemandian air panas menjadi tantangan utama. Dengan dukungan politik yang kuat dan teknologi yang terus berkembang, Jepang berpotensi memimpin dalam transisi energi bersih di masa depan.