Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi keagamaan terkemuka di Indonesia, baru-baru ini menerima alokasi tambang dari pemerintah. Meskipun mendapatkan prioritas, Muhammadiyah merasa perlu melakukan kajian mendalam terhadap syarat-syarat yang berlaku sebelum melangkah lebih jauh.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi Muhammadiyah adalah larangan bagi organisasi keagamaan untuk bermitra dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) induk dan afiliasinya. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 76 Pasal 5C Ayat 3. “Kami melihat ada hal-hal yang perlu juga kita cermati terutama di dalam PP 76 Pasal 5C Ayat 3 tentang tidak bolehnya kami bermitra dengan PKP2B Induk atau afiliasinya,” ujar Syahrial Suandi, perwakilan PP Muhammadiyah, dalam rapat bersama Badan Legislatif (Baleg) DPR, Rabu (22/1/2025).
Syahrial menjelaskan bahwa ada konsekuensi yang mungkin dihadapi Muhammadiyah jika tidak dapat bekerja sama dengan perusahaan induk yang sebelumnya mengelola konsesi tambang, seperti PT Adaro Energy. Beberapa di antaranya adalah kebutuhan untuk membangun jalan baru menuju lokasi tambang ke pelabuhan, investasi alat berat yang cukup mahal, serta pembangunan pelabuhan dan jetty untuk pengiriman hasil tambang.
Syahrial menambahkan bahwa prioritas yang diberikan oleh pemerintah kepada Muhammadiyah harus dipertimbangkan dengan matang. “Kami melihat ini nampaknya bagian dari yang membuat prioritas yang dibiarkan oleh pemerintah kepada paling tidak kami dari Muhammadiyah ini menjadi pertimbangan yang perlu kami cermati secara matang,” jelasnya.
Selain larangan kerja sama dengan perusahaan induk, Muhammadiyah juga menghadapi masalah terkait Kompensasi Data Informasi (KDI) yang menjadi syarat dari pemerintah. Biaya KDI dinilai masih sangat besar, menambah beban finansial yang harus ditanggung di awal pengelolaan tambang. “Karena ini adalah beban-beban tambang di depan yang tidak kecil nilainya,” ungkap Syahrial.
Muhammadiyah berharap agar rancangan perubahan keempat undang-undang nomor 4 tahun 2009 dapat segera dibahas secara detail. “Yang terakhir adalah, tentu kami berharap, rancangan perubahan keempat undang-undang nomor 4 tahun 2009 ini bisa segera kita bahas secara detail, atau paling tidak mendapatkan masukan secara detail, dengan penuh kehati-hatian,” tambah Syahrial.
Penerimaan jatah tambang oleh Muhammadiyah membawa serta berbagai tantangan dan konsekuensi yang harus dihadapi. Dengan adanya larangan bermitra dengan PKP2B induk dan besarnya biaya KDI, Muhammadiyah perlu melakukan penelaahan mendalam dan berhati-hati dalam mengambil langkah selanjutnya. Harapan untuk perubahan undang-undang juga menjadi salah satu fokus utama agar dapat mengatasi berbagai kendala yang ada. Langkah ini menunjukkan pentingnya kehati-hatian dan perencanaan matang dalam mengelola sumber daya alam demi kepentingan masyarakat luas.