Produksi minyak di Indonesia mengalami penurunan yang mencolok, dengan angka produksi kini di bawah 600.000 barel per hari. Sementara itu, kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional mencapai sekitar 1,5 juta barel per hari. Akibatnya, PT Pertamina terpaksa mengimpor sekitar 1 juta barel dalam bentuk minyak mentah dan BBM untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Impor minyak dalam jumlah besar ini memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat serta mempengaruhi neraca transaksi berjalan pemerintah. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, pada Selasa (28/1/2025) di Bandung.
Yusri menambahkan bahwa dengan beroperasinya Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan pada pertengahan tahun 2025, kebutuhan impor minyak mentah diperkirakan akan semakin meningkat. Pemerintah diharapkan dapat mengantisipasi situasi ini sejak dini untuk menghindari dampak yang lebih besar.
Masalah ini diperparah oleh kebijakan SKK Migas yang memberikan kuasa jual Minyak Mentah dan Kondensat Bagian Negara (MMKBN) kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan skema Election Not To Take in Kind. Kebijakan ini diatur dalam Pedoman Tata Kerja Nomor: PTK-065 SKKMA0000/2017/SO yang ditandatangani pada 1 November 2017 oleh Amien Sunaryadi, Kepala SKK Migas saat itu.
Menurut Yusri, landasan hukum PTK 065/2017 lemah dan tidak sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2017. Setelah terbitnya Permen ESDM Nomor 42 Tahun 2018 yang direvisi menjadi Permen ESDM Nomor 18 Tahun 2021, PTK 065/2017 tidak pernah direvisi untuk memastikan pasokan kilang Pertamina dari produksi minyak mentah dalam negeri.
Yusri mengungkapkan bahwa PTK 065/2017 rawan disalahgunakan untuk kepentingan pemburu rente. Bahkan, beberapa KKKS tidak pernah melakukan tender dalam menjual kondensat bagian negara selama lima tahun terakhir, yang berpotensi merugikan negara. Dugaan kongkalikong ini telah dilaporkan secara resmi ke KPK dan Kejaksaan Agung sejak Juni 2024.
Yusri menjelaskan bahwa setiap barel produksi minyak mentah dan kondensat yang dikelola oleh KKKS asing, swasta nasional, dan Pertamina Hulu Energi serta BUMD, terdapat minyak bagian negara yang dikenal sebagai Goverment Oil Intake (GOI). Berdasarkan UU Migas, KKKS memiliki kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25 persen dari total produksinya untuk kebutuhan kilang Pertamina.
Sayangnya, penerapan formula harga Indonesian Crude Price (ICP) + Premium yang ditawarkan oleh KKKS ke Pertamina menjadi tidak ekonomis. Hal ini mengakibatkan banyak minyak bagian negara dan DMO diekspor, dan ironisnya kembali diimpor oleh Pertamina Patra Niaga dalam bentuk BBM.
Yusri menekankan bahwa pemerintah seharusnya hadir untuk menekan PT Kilang Pertamina Internasional agar mengurangi impor minyak mentah. Kebijakan Menteri Keuangan diperlukan agar minyak mentah bagian negara dan DMO dijual ke KPI dengan formula ICP + flat, jika harga ICP discount tentu lebih.
CERI berencana menunjuk tim hukum untuk mempersiapkan gugatan terhadap produk aturan SKK Migas terkait Pedoman Tata Kerja 065 Tahun 2017. Langkah ini diambil untuk mencapai kemandirian energi sesuai dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.
Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, pemerintah dan pihak terkait diharapkan dapat mengambil langkah strategis untuk mengatasi masalah ini demi menjaga stabilitas ekonomi dan kemandirian energi nasional.