Meningkatnya ketergantungan Indonesia terhadap impor minyak mentah dan produk migas menegaskan urgensi penguatan industri hulu migas nasional. Dalam 14 tahun terakhir, tren impor migas Indonesia terus menanjak. Berdasarkan data ReforMiner Institute, pada 2010 volume impor berada di kisaran 400 ribu barrel per hari, namun pada 2024 melonjak drastis hingga menyentuh angka sekitar 1 juta barrel per hari.
Kondisi ini tidak hanya berdampak pada memburuknya neraca perdagangan akibat tingginya pengeluaran devisa, tetapi juga memperlihatkan lemahnya ketahanan energi nasional yang masih mengandalkan pasokan luar negeri.
Peningkatan impor ini utamanya disebabkan oleh produksi dalam negeri yang belum mampu mengimbangi permintaan energi nasional yang terus meningkat. Meski Indonesia memiliki cadangan migas yang cukup besar, kegiatan eksplorasi dan produksi belum optimal. Berbagai kendala seperti minimnya investasi, tantangan teknis di lapangan, keterbatasan teknologi, serta regulasi yang rumit menjadi penghambat pengembangan sektor hulu.
Ketergantungan pada migas impor juga menjadikan Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga minyak global. Ketika harga minyak dunia melonjak, beban subsidi dan biaya impor meningkat, yang pada akhirnya mempengaruhi inflasi dan daya beli masyarakat.
Penguatan sektor hulu migas menjadi salah satu langkah strategis untuk menekan ketergantungan pada impor sekaligus memperkuat struktur energi nasional. Menurut Komaidi Notonegoro, peran sektor hulu tidak hanya krusial dalam menjaga pasokan energi, tetapi juga menjadi penentu keberhasilan kebijakan hilirisasi migas. Tanpa pasokan dari hulu yang kuat dan berkelanjutan, kebijakan hilirisasi hanya akan menjadi slogan tanpa dampak ekonomi nyata.
Pemerintah perlu mendorong peningkatan investasi di sektor ini melalui insentif fiskal, kepastian hukum, dan penyederhanaan perizinan. Penguatan infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia juga menjadi pilar penting agar eksplorasi dan produksi migas bisa berjalan lebih efisien dan berkelanjutan.
Pencapaian target produksi migas nasional tidak bisa dilakukan pemerintah sendiri. Diperlukan sinergi erat dengan sektor swasta, baik nasional maupun asing, dalam bentuk penyediaan teknologi, pendanaan, dan keahlian teknis. Pemerintah berperan menciptakan iklim usaha yang kondusif, sementara pelaku industri bisa fokus meningkatkan kapasitas produksi dan efisiensi operasi.
Lonjakan impor migas menjadi alarm penting bagi Indonesia untuk segera memperkuat sektor hulu migas. Selain mengurangi tekanan pada neraca perdagangan, langkah ini juga memastikan keberlanjutan energi nasional dan mendukung program hilirisasi yang bernilai tambah. Kolaborasi strategis antara pemerintah dan pelaku industri akan menjadi kunci untuk mewujudkan kemandirian energi di masa depan.