Pakar energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai kebijakan impor bahan bakar minyak (BBM) yang hanya boleh dilakukan melalui PT Pertamina (Persero), apalagi jika sumbernya dari Amerika Serikat (AS), berpotensi menimbulkan kelangkaan bensin. Kondisi ini dikhawatirkan akan berdampak tidak hanya pada SPBU swasta, tetapi juga pada SPBU milik Pertamina.
Menurut Fahmy, risiko kelangkaan terjadi karena Pertamina diprediksi tidak sanggup menyediakan infrastruktur pendukung untuk mengelola impor BBM dalam jumlah besar. Kapasitas logistik dan distribusi yang terbatas bisa membuat pasokan ke SPBU terganggu, sehingga ketersediaan BBM di lapangan menjadi tidak stabil.
Jika kelangkaan benar terjadi, implikasinya akan sangat luas. Sektor transportasi, industri, hingga rumah tangga berpotensi terkena imbas kenaikan harga dan keterbatasan pasokan. Hal ini juga dapat memicu inflasi yang menekan daya beli masyarakat, sekaligus memperberat beban biaya operasional pelaku usaha.
Pemerintah dan pelaku industri energi diminta untuk mengantisipasi dampak kebijakan ini dengan menyiapkan diversifikasi sumber impor BBM. Selain itu, penguatan infrastruktur distribusi energi dan percepatan pengembangan energi alternatif dinilai penting agar ketergantungan pada impor tidak semakin memperbesar risiko kelangkaan.
Kebijakan impor BBM yang sepenuhnya diserahkan pada Pertamina, khususnya jika bergantung pada pasokan dari AS, berisiko memperburuk ketersediaan bahan bakar di SPBU Pertamina maupun swasta. Karena itu, langkah antisipatif berupa perbaikan infrastruktur, diversifikasi sumber impor, dan pengembangan energi terbarukan menjadi kunci menjaga ketahanan energi nasional.
