Janji Menteri ESDM Bahlil Lahadalia untuk memastikan pasokan BBM di SPBU swasta kembali terisi dalam waktu tujuh hari diramal akan meleset. Menurut pakar energi, ada beberapa kendala yang bisa menghambat proses ini, mulai dari logistik hingga regulasi.
Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), menjelaskan bahwa waktu pengiriman BBM dari hub terdekat, Singapura, saja membutuhkan waktu setidaknya 10 hari. Hal ini belum termasuk proses tender yang harus dilakukan oleh Pertamina. Yusri meragukan Pertamina dapat menunjuk langsung penjual BBM tanpa melalui tender, karena hal itu berpotensi melanggar aturan dan bisa menjadi temuan BPK di kemudian hari.
Selain itu, kesepakatan harga juga menjadi faktor penentu. Yusri meragukan bahwa operator SPBU swasta telah menyetujui harga jual yang ditawarkan Pertamina, yang akan memperlama proses pengadaan.
Potensi Harga Lebih Mahal dan Tantangan Hukum
Senada dengan Yusri, Direktur Utama PT Petrogas Jatim Utama Cendana (PJUC) Hadi Ismoyo memprediksi bahwa pembelian BBM ini akan dilakukan melalui kontrak spot. Harga kontrak spot cenderung lebih fluktuatif dan bisa 10-20% lebih mahal daripada harga kontrak jangka panjang. Hal ini berpotensi menekan margin keuntungan SPBU swasta yang harus membeli dari Pertamina.
Dari sisi hukum, Yusri Usman menilai langkah Bahlil yang mewajibkan SPBU swasta membeli BBM dari Pertamina tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan berpotensi melanggar Undang-undang Migas dan UU Larangan Monopoli. Menurutnya, kegiatan usaha hilir migas harus diselenggarakan melalui persaingan usaha yang sehat, wajar, dan transparan.
Meskipun demikian, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa kesepakatan telah dibuat, dan Pertamina akan melakukan impor untuk menambal pasokan yang kosong. Bahlil menjanjikan skema harga akan menggunakan prinsip open book, dan kualitas BBM akan diuji bersama.