Pemerintah Indonesia telah menetapkan sasaran ambisius untuk mengembangkan kapasitas energi baru terbarukan (EBT) sebesar 103 Gigawatt dalam kurun waktu 15 tahun ke depan. Namun, pencapaian target ini terhambat oleh ketiadaan regulasi dan ekosistem pendukung yang memadai. Wakil Ketua Komisi Energi dan Investasi VII DPR, Sugeng Suparwoto, menyoroti bahwa hingga saat ini, Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan belum disahkan. Menurutnya, regulasi ini sangat penting untuk memberikan kepastian hukum dan ekosistem bisnis bagi pengembangan energi terbarukan.
“Saya bertanggung jawab sebagai ketua komisi energi, tetapi pembuatan undang-undang adalah tanggung jawab bersama antara DPR dan pemerintah. Ironisnya, pihak yang tidak mendukung percepatan pembentukan undang-undang ini adalah pemerintah,” ujar Sugeng dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh majalah Portonews, pada Rabu, 18 Desember 2024.
Sugeng menambahkan bahwa komitmen Indonesia untuk memiliki undang-undang ini sebelum KTT G20 2022 di Bali, yang mengusung tema transisi energi, belum terwujud hingga saat ini. Selain itu, Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang telah diratifikasi oleh DPR belum ditandatangani oleh pemerintah, sehingga pelaksanaannya tertunda.
Target pengembangan energi terbarukan sebesar 103 GW juga belum terintegrasi dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Sugeng menyebutkan bahwa tanpa integrasi ini, target tersebut hanya akan menjadi angan-angan belaka.
Menurut Sugeng, salah satu proyek potensial yang dapat dikembangkan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB). Dengan faktor kapasitas sebesar 42 persen, PLTB dapat beroperasi selama 24 jam dengan biaya investasi sekitar US$2 juta per megawatt. Namun, untuk mencapai target 103 GW, dibutuhkan investasi sebesar US$235 miliar atau setara dengan Rp3.690 triliun dalam 15 tahun, atau sekitar US$15 miliar per tahun.
“Ini adalah pekerjaan rumah kita. Jika hal-hal dasar seperti regulasi dan infrastruktur belum selesai, investasi sebesar itu sulit direalisasikan,” kata Sugeng.
Selain investasi besar, pengembangan energi terbarukan juga memerlukan infrastruktur teknis, seperti jaringan pintar, untuk mengintegrasikan energi terbarukan yang tersebar di berbagai wilayah, termasuk Mamberamo, Papua (20 GW) dan Kalimantan Utara (15 GW).
“Kami telah memutuskan untuk membangun jaringan pintar sejak 2021, tetapi hingga kini pelaksanaannya masih belum jelas,” ujarnya.
Sugeng juga menyoroti monopoli oleh perusahaan listrik negara (PLN) di sektor kelistrikan yang dianggap menjadi penghalang inovasi dan investasi. Sebagai solusi, ia mengatakan, konsep power wheeling atau penyewaan jaringan listrik diusulkan dalam undang-undang EBT, memungkinkan operator lain untuk berpartisipasi dalam penyediaan listrik.
Sugeng menekankan pentingnya langkah nyata untuk mewujudkan target EBT. Selain regulasi, perlu ada koordinasi yang lebih baik antara DPR, pemerintah, dan pelaku industri untuk menciptakan ekosistem investasi yang kondusif.
“Dengan target 103 GW, kita harus segera menyelesaikan persyaratan dasar seperti regulasi, infrastruktur, dan sistem pendukung. Jika tidak, target ini hanya akan menjadi wacana belaka,” pungkas Sugeng.
Target ambisius pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam hal regulasi dan infrastruktur. Namun, dengan komitmen dan koordinasi yang kuat antara pemerintah, DPR, dan sektor industri, Indonesia memiliki potensi besar untuk mencapai target ini dan memimpin transisi energi bersih di kawasan ini. Investasi yang tepat dan inovasi dalam pengelolaan energi akan menjadi kunci untuk mewujudkan masa depan energi terbarukan yang berkelanjutan dan berdaya saing.