INFOENERGI.ID – Jakarta: Negara-negara di kawasan ASEAN didorong untuk mengadopsi sistem desentralisasi energi dan energi terbarukan berbasis lokal, seperti tenaga surya, hidro mini, dan bioenergi. Langkah ini bertujuan untuk memperkuat ketahanan, keterjangkauan, dan keberlanjutan energi di kawasan tersebut. Menurut catatan Institute for Essential Services Reform (IESR), meskipun rasio elektrifikasi di ASEAN telah melebihi 90%, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan akses listrik yang andal dan berkualitas untuk mendukung produktivitas dan pertumbuhan ekonomi mereka.
Hal ini menjadi topik utama dalam Dialog Regional: Mempromosikan Akses Energi Terdesentralisasi di Asia Tenggara yang berlangsung pada 22-23 April 2025 di Jakarta. Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menekankan bahwa desentralisasi energi terbarukan adalah strategi penting untuk mencapai trilema energi dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Namun, penerapan sistem ini di ASEAN masih menghadapi berbagai tantangan, seperti keterbatasan infrastruktur teknis, kesulitan akses pembiayaan yang terjangkau, dan kurangnya sumber daya manusia yang terampil.
IESR merangkum enam rekomendasi utama untuk mempercepat pengembangan energi terdesentralisasi di ASEAN. Pertama, pentingnya integrasi desentralisasi energi dalam APAEC 2026–2030 sebagai strategi mitigasi ketergantungan terhadap infrastruktur jaringan listrik terpusat. Kedua, diversifikasi skema pembiayaan dengan mengembangkan mekanisme pembiayaan campuran, memanfaatkan pembiayaan berbasis hasil, memperluas akses terhadap sukuk hijau dan pembiayaan iklim, serta mempromosikan kemitraan publik-swasta.
Ketiga, penerapan model yang inklusif dan partisipatif yang berpusat pada komunitas, serta pelembagaan peran pemerintah lokal dan masyarakat. Keempat, penguatan kerangka kebijakan dan regulasi melalui harmonisasi regulasi energi terdesentralisasi, penetapan target dan roadmap nasional jangka panjang, integrasi dengan sistem jaringan, serta memberikan insentif dan mitigasi risiko.
Kelima, pembangunan kapasitas dan transfer pengetahuan melalui peluncuran program pelatihan dan sertifikasi regional, pembentukan pusat pengetahuan energi terdesentralisasi, serta dukungan untuk riset dan inovasi antarnegara. Keenam, memperkuat kolaborasi dan pengawasan berkelanjutan melalui pembangunan platform dialog regional yang terinstitusionalisasi serta kerangka pemantauan. Evaluasi berkala juga diperlukan untuk memastikan akuntabilitas dan kemajuan yang terukur.
CEO dan Presiden Energy Foundation China, Prof Ji Zou, menegaskan bahwa energi terbarukan yang terdesentralisasi memiliki keunggulan dalam skalabilitas, keberlanjutan, dan aksesibilitas, sehingga mampu menjadi pilar utama bagi masa depan energi ASEAN. Energi terdesentralisasi juga menjadi katalis bagi pertumbuhan ekonomi, membuka peluang untuk mendorong investasi, mempercepat inovasi teknologi, dan menciptakan model bisnis baru. Peluang ini tidak hanya mempercepat transisi energi ASEAN, tetapi juga membangun fondasi bagi kemakmuran ekonomi jangka panjang dan ketahanan energi.
Plt Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Chrisnawan Anditya, menyoroti pentingnya kolaborasi lintas negara dalam mendorong desentralisasi energi di kawasan ASEAN. Meskipun kebijakan dan regulasi terkait masih kompleks, pelibatan masyarakat menjadi kunci untuk memastikan keberlanjutan infrastruktur energi terbarukan secara jangka panjang.
Dengan berbagai tantangan dan peluang yang ada, desentralisasi energi terbarukan di ASEAN memerlukan komitmen dan kerjasama dari semua pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, untuk mencapai keberlanjutan energi yang lebih baik di masa depan.