India dan China, sebagai dua negara dengan ekonomi terbesar di Asia sekaligus populasi terbesar di dunia, kembali menjadi sorotan dalam isu energi global. Di saat banyak negara mendorong percepatan transisi ke energi terbarukan, kedua negara ini justru masih memperluas kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Analisis dari Carbon Brief menunjukkan bahwa India dan China tetap mempertahankan peran dominannya dengan menyumbang hampir 87 persen dari proyek PLTU baru yang diusulkan di dunia pada paruh pertama 2025. Temuan ini menegaskan bahwa arah transisi energi global masih ditarik dalam dua kutub yang berlawanan: antara komitmen pada energi bersih dan kebutuhan jangka pendek atas pasokan energi murah.
Bagi India, kebutuhan energi terus melonjak seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi yang besar. Pemerintah memang telah menetapkan target ambisius untuk memperluas kapasitas energi terbarukan, termasuk tenaga surya dan angin. Namun, dalam praktiknya, PLTU tetap menjadi tulang punggung sistem kelistrikan karena dianggap mampu menyediakan listrik yang stabil dan relatif murah. Kondisi ini menunjukkan dilema yang dihadapi India: di satu sisi ada dorongan kuat untuk menurunkan emisi karbon, tetapi di sisi lain kebutuhan energi masyarakat dan industri masih sangat bergantung pada batu bara.
China, yang dikenal sebagai penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, menghadapi kontradiksi serupa. Pemerintah Tiongkok telah menargetkan pencapaian netralitas karbon pada tahun 2060, serta mengucurkan dana besar untuk memperluas energi bersih. Meski begitu, pembangunan PLTU baru tetap berlanjut. Dorongan utama datang dari kebutuhan menjaga pertumbuhan ekonomi, mendukung urbanisasi masif, serta menjamin keamanan energi di tengah ketidakpastian geopolitik global. Dengan demikian, meskipun investasi energi hijau meningkat, batu bara masih dipandang sebagai sumber daya yang strategis dalam jangka menengah.
Dominasi India dan China dalam proyek PLTU menimbulkan tantangan serius bagi upaya global melawan perubahan iklim. Pembangunan pembangkit baru berbahan fosil berpotensi menghambat pencapaian target iklim internasional, termasuk kesepakatan Paris. Namun, di balik tantangan ini juga ada peluang. Baik India maupun China semakin gencar mengembangkan infrastruktur energi terbarukan, hanya saja proses transisinya tidak bisa instan. Peningkatan kapasitas panel surya, turbin angin, serta sistem penyimpanan energi tengah dikebut, tetapi masih belum mampu sepenuhnya menggantikan ketergantungan pada batu bara.
Fakta bahwa hampir 9 dari 10 PLTU baru di dunia berasal dari India dan China memperlihatkan betapa besar pengaruh kedua negara ini terhadap arah transisi energi global. Keputusan mereka untuk tetap mengandalkan batu bara, meskipun diiringi ekspansi energi terbarukan, membuat proses dekarbonisasi dunia menjadi lebih rumit. Oleh karena itu, kolaborasi internasional—baik melalui transfer teknologi, investasi, maupun dukungan kebijakan—sangat dibutuhkan agar India dan China mampu mempercepat pergeseran menuju energi bersih.
Perjalanan transisi energi di India dan China tidak hanya penting bagi kedua negara tersebut, tetapi juga bagi seluruh dunia. Dominasi mereka dalam pembangunan PLTU baru sekaligus upaya memperbesar kapasitas energi terbarukan mencerminkan kontradiksi nyata dalam politik energi global. Jika India dan China berhasil menyeimbangkan kebutuhan energi domestik dengan komitmen pengurangan emisi, maka mereka akan memainkan peran kunci dalam menentukan apakah dunia bisa bergerak lebih cepat menuju masa depan energi yang bersih dan berkelanjutan.