Keamanan pangan menjadi isu penting yang mendapat sorotan global, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan pangan. Risiko kontaminasi makanan yang semakin besar menuntut adanya solusi inovatif. Salah satu metode yang kini tengah digencarkan adalah iradiasi pangan, yang diyakini mampu mengurangi risiko kontaminasi sekaligus memperpanjang masa simpan produk.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) aktif mendorong pemanfaatan teknologi iradiasi pangan sebagai upaya memperkuat ketahanan sekaligus keamanan pangan nasional. Iradiasi pangan merupakan proses paparan radiasi ionisasi pada makanan untuk membunuh bakteri, virus, atau parasit penyebab penyakit. Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN, Syaiful Bakhri, menjelaskan bahwa teknologi nuklir ini dapat menekan risiko kontaminasi tanpa meninggalkan residu berbahaya.
Teknologi ini terbukti efektif membasmi patogen berbahaya seperti Salmonella dan E. coli, sehingga dapat menekan potensi penyakit bawaan makanan. Selain itu, proses iradiasi juga mampu memperlambat pembusukan yang biasanya terjadi pada produk segar, sehingga daya simpan buah dan sayuran bisa bertahan lebih lama. Tidak hanya itu, iradiasi pangan juga menawarkan alternatif ramah lingkungan karena mengurangi kebutuhan bahan kimia pengawet, sekaligus menghadirkan produk yang lebih aman dan alami.
Meski manfaatnya jelas, sebagian masyarakat masih memiliki keraguan terhadap keamanan makanan hasil iradiasi. Banyak konsumen yang menilai makanan ini berbahaya, padahal proses iradiasi tidak membuat makanan menjadi radioaktif. Edukasi publik dan transparansi informasi menjadi langkah penting untuk meningkatkan pemahaman sekaligus penerimaan terhadap teknologi ini.
Organisasi internasional seperti WHO dan FAO telah menegaskan bahwa iradiasi pangan aman digunakan. Indonesia pun telah memiliki regulasi untuk memastikan penerapan teknologi ini sesuai standar internasional, sehingga dapat diadopsi secara luas di industri pangan dalam negeri.