INFOENERGI.ID, Jakarta – Shell Plc, salah satu raksasa energi dunia, tengah bekerja sama dengan para penasihat untuk mengevaluasi kemungkinan akuisisi BP Plc. Langkah ini dilakukan di tengah penurunan harga saham dan minyak yang terus berlanjut. Menurut sumber yang mengetahui situasi ini, Shell masih menunggu waktu yang tepat sebelum memutuskan untuk mengajukan penawaran resmi.
Dalam beberapa minggu terakhir, Shell telah mengadakan diskusi serius dengan para penasihatnya mengenai kelayakan dan manfaat dari pengambilalihan BP. Sumber yang meminta untuk tidak disebutkan namanya ini mengungkapkan bahwa keputusan akhir akan sangat bergantung pada pergerakan harga saham BP yang saat ini mengalami penurunan signifikan.
Saham BP telah kehilangan hampir sepertiga nilainya dalam setahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh rencana pemulihan yang tidak disambut baik oleh investor serta penurunan harga minyak global. Shell mungkin menunggu BP untuk mengambil langkah pertama atau menunggu pelamar lain sebelum membuat keputusan.
Perundingan antara Shell dan BP masih berada pada tahap awal. Shell mungkin lebih memilih untuk fokus pada buyback saham dan akuisisi langsung daripada melakukan merger besar-besaran. Beberapa perusahaan energi besar lainnya juga sedang mempertimbangkan untuk mengajukan penawaran kepada BP.
Juru bicara Shell menegaskan bahwa perusahaan tetap fokus pada nilai dengan mengedepankan kinerja, disiplin, dan penyederhanaan. Sementara itu, perwakilan BP menolak memberikan komentar terkait isu ini.
Jika akuisisi ini berhasil, maka akan menjadi salah satu yang terbesar dalam industri minyak, menyatukan dua perusahaan besar Inggris yang telah lama bersaing. Meskipun dulunya memiliki ukuran dan pengaruh global yang sebanding, kedua perusahaan ini telah menempuh jalan yang berbeda dalam beberapa tahun terakhir.
Saham Shell sendiri mengalami penurunan sekitar 13% di bursa London dalam 12 bulan terakhir, dengan nilai pasar mencapai £149 miliar, lebih dari dua kali lipat kapitalisasi pasar BP yang sebesar £56 miliar.
BP menghadapi tantangan besar akibat strategi nol bersih yang diterapkan oleh mantan CEO Bernard Looney. Penggantinya, Murray Auchincloss, telah mengumumkan perubahan strategi yang mencakup kembali fokus pada minyak, mengurangi buyback saham kuartalan, dan menjual aset.
Penurunan harga minyak mentah Brent di bawah US$70 per barel, akibat perang dagang dan lonjakan pasokan dari OPEC+, menambah tekanan pada BP. OPEC+ baru-baru ini menyetujui peningkatan produksi yang dapat memperdalam penurunan harga minyak.
Investor semakin tidak sabar dengan situasi ini. Elliott Investment Management, yang memiliki 5% saham di BP, telah meminta perusahaan untuk mempertimbangkan langkah-langkah transformatif. Mereka menilai rencana BP kurang ambisius dan berpotensi membuat perusahaan rentan terhadap pengambilalihan.
Di bawah kepemimpinan CEO Wael Sawan, Shell telah memangkas biaya, melepas unit energi terbarukan yang berkinerja buruk, dan kembali fokus pada bahan bakar fosil. Meskipun saham Shell telah melampaui Chevron dan Exxon Mobil, valuasinya masih belum menyamai pesaing besar di AS.
Sawan menegaskan bahwa Shell akan terus mencari peluang anorganik dengan standar yang tinggi. Setiap kesepakatan harus dapat meningkatkan arus kas bebas per saham dalam waktu singkat.
Pengambilalihan BP oleh Shell dapat memberikan dorongan signifikan bagi pertumbuhan produksi Shell, terutama dengan mendapatkan kembali eksposur ke pasar AS. Kesepakatan ini berpotensi mengerdilkan akuisisi BG Group oleh Shell pada tahun 2016 yang bernilai hampir US$50 miliar. Di tengah tantangan harga minyak yang fluktuatif, langkah strategis ini dapat menjadi penentu arah masa depan kedua perusahaan.