Keputusan pemerintah yang menugaskan PT Pertamina (Persero) untuk memasok bahan bakar minyak (BBM) bagi operator SPBU swasta, seperti Shell dan BP, dinilai berisiko menekan keuntungan dan bahkan berpotensi merugikan perusahaan pelat merah tersebut.
Menurut Manajer Riset Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, penugasan ini secara tidak langsung mengubah peran Pertamina menjadi pemasok utama BBM nonsubsidi dengan skema yang mirip dengan public service obligation (PSO). Jika margin keuntungan Pertamina dibatasi, ia harus menanggung beban distribusi dan fluktuasi harga minyak global tanpa imbal hasil yang sepadan.
Selain itu, Badiul menambahkan bahwa kebijakan ini bisa menciptakan kompetisi yang tidak sehat. SPBU swasta akan terpaksa bergantung pada pasokan dari kompetitornya sendiri, yang berpotensi membatasi pergerakan bisnis mereka. Apalagi jika harga yang ditetapkan oleh Pertamina lebih mahal daripada harga impor mandiri yang biasa mereka lakukan, margin keuntungan mereka akan tertekan.
Badiul mendesak agar skema ini tidak menjadi kebijakan jangka panjang, sebab bisa memecah fokus utama Pertamina dalam menjaga ketahanan energi nasional. Transparansi dalam penetapan harga menjadi kunci agar tugas tambahan ini tidak membebani Pertamina secara berlebihan dan tetap menjaga stabilitas pasar.
Untuk diketahui, kesepakatan ini muncul setelah kuota impor SPBU swasta habis, sementara stok mereka menipis. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa skema harga akan menggunakan prinsip open book untuk memastikan keadilan dan transparansi. Ia juga menjamin pasokan BBM akan kembali normal dalam waktu tujuh hari. Meski demikian, Dirjen Migas Kementerian ESDM Laode Sulaeman sebelumnya menyebut bahwa Pertamina diminta untuk tidak mengambil keuntungan berlebihan dari skema ini.
