Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan bahwa target iklim Indonesia yang tercantum dalam dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) belum sepenuhnya mencerminkan ambisi Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai 100 persen energi terbarukan dalam satu dekade mendatang. Dokumen SNDC yang diserahkan kepada Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) pada 27 Oktober 2025 ini menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca berdasarkan skenario absolut, bukan lagi persentase di bawah skenario business as usual.
Namun, dalam dua skenario bersyarat yang diajukan, total emisi Indonesia justru diproyeksikan meningkat hingga tahun 2030 dibandingkan dengan tahun 2019. Dalam skenario pertumbuhan ekonomi tinggi hingga 8 persen atau Low Carbon Compatible Pathway–High (LCCP-H), emisi bersih setelah memperhitungkan sektor hutan dan lahan (FOLU) diperkirakan mencapai 1.489 juta ton setara karbon dioksida (CO₂e) pada tahun 2035. Jika penyerapan dari FOLU tidak diperhitungkan, total emisi kotor dapat meningkat hingga 1.696 juta ton CO₂e.
IESR menilai bahwa proyeksi ini masih sangat tinggi karbon dan terlalu bergantung pada penyerapan sektor FOLU, bukan pada upaya mitigasi sektor energi. “Artinya, upaya nyata penurunan emisi baru akan dimulai setelah 2035, bukan dalam dekade ini,” tulis IESR dalam keterangan resminya.
Menurut IESR, pendekatan ini tidak efisien karena berpotensi menimbulkan biaya lebih besar di masa depan dan berisiko gagal memenuhi Persetujuan Paris. Berdasarkan Climate Action Tracker (CAT), agar selaras dengan target pemanasan global 1,5°C, emisi absolut Indonesia pada tahun 2035 seharusnya sekitar 720 juta ton CO₂e di luar sektor FOLU.
Sementara itu, target dalam SNDC justru tidak lebih ambisius dibandingkan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045, yakni 760 juta ton CO₂e termasuk sektor FOLU. Pada skenario bersyarat tersebut, emisi sektor energi pada tahun 2035 diperkirakan mencapai 1.336 juta ton CO₂e atau naik 103 persen dibandingkan tahun 2019. Puncak emisi sektor energi baru terjadi pada tahun 2038, mundur dari estimasi dalam draf sebelumnya.
Chief Executive Officer IESR, Fabby Tumiwa, menyatakan bahwa kemunduran puncak emisi ini seharusnya tidak perlu terjadi jika pemerintah berani menjalankan transisi energi sesuai visi Presiden Prabowo. “Dengan potensi 3.800 gigawatt energi terbarukan dan biaya investasi PLTS, PLTB, serta baterai yang makin menurun, pemanfaatan yang lebih besar akan membuat harga listrik jauh lebih murah dan emisi lebih rendah,” ujar Fabby.
Menurutnya, penurunan harga energi terbarukan menjadi faktor penting bagi transisi energi nasional. “Mempertahankan PLTU tua justru membuat Indonesia kehilangan peluang memperoleh harga listrik yang lebih murah,” tambahnya.
Fabby juga menyoroti pendekatan ekonomi dalam SNDC yang dinilai menempatkan aksi iklim sebagai hambatan pertumbuhan. “Ini berbeda dengan hasil pemodelan Low Carbon Development Indonesia (LCDI) Bappenas yang menunjukkan aksi iklim kuat justru menjadi prasyarat pertumbuhan ekonomi berkualitas,” ujarnya.
IESR memperkirakan bahwa transisi energi membutuhkan investasi sekitar 40–50 miliar dollar AS atau setara Rp 660 triliun hingga Rp 825 triliun per tahun. Jika dijalankan konsisten, investasi tersebut justru dapat mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
